flavonoid



A.    Asal Usul Flavanoid
Senyawa metabolit sekunder terdiri dari golongan flavonoid , alkoloid, terpenoid, steroid, lipid, lakton, dan glikosida ( Herbert, 1996). Flavonoid merupakan salah satu produk metabolisme sekunder yang ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi dan mikroorganisme. Senyawa ini terdapat pada semua bagian tumbuhan tingkat tinggi termasuk daun, akar, kulit, kayu, bunga, buah dan biji (Markham, 1988). Flavonoid juga merupakan kelompok senyawa fenol terbesar yang terdapat pada tumbuhan (Harborne, 1987).
Flavonoid adalah senyawa polifenol yang banyak terdapat di alam. Flavonoid merupakan golongan senyawa bahan alam dari senyawa fenolik yang banyak sebagai pigmen tumbuhan tinggi (zat warna merah,ungu dan biru dan sebagai zat warna kuning) . terdapat pada daun, ranting, akar, biji, kulit buah atau kulit, kulit kayu, dan bunga. Akan tetapi, senyawa flavonoid tertentu sering kali terkonsentrasi dalam suatu jaringan tertentu, misalnya antosianidin adalah zat warna dari bunga, buah, dan daun. Flavonoid juga dikenal sebagai vitamin P dan citrin, dan merupakan pigmen yang diproduksi oleh sejumlah tanaman sebagai warna pada bunga yang dihasilkan.

B.     Struktur Molekul Flavanoid
Struktur flavonoid memiliki 15 atom karbon, terdiri dari 2 cincin benzena yang dihubungkan menjadi satu oleh rantai linier yang terdiri dari tiga atom karbon. Dapat ditulis sebagai berikut C6-C3-C6 (Manitto, 1992). Susunan ini dapat menghasilkan tiga jenis struktur, yaitu flavonoid (1,3-diarilpropana), isoflavonoid (1,2-diarilpropana), neoflavonoid (1,1-diarilpropana) seperti ditunjukkan pada Gambar 2
 

Flavonoid merupakan istilah yang dikenakan pada suatu golongan besar senyawa yang berasal dari kelompok senyawa yang paling umum yaitu senyawa flavon yang ditunjukkan pada Gambar 3.


Senyawa flavonoid terdiri dari beberapa jenis, bergantung pada tingkat oksidasi
rantai propana dari sistem 1,3-diarilpropana. Beberapa jenis struktur flavonoid
alami ditunjukkan pada Gambar 4.


C.    Skrining Fitokimia
Skrining fitokimia merupakan cara untuk mengidentifikasi bioaktif yang belum tampak melalui suatu tes atau pemeriksaan yang dapat dengan cepat memisahkan antara bahan alam yang memiliki kandungan fitokimia tertentu dengan bahan alam yang tidak memiliki kandungan fitokimia tertentu. Skrining fitokimia merupakan tahap pendahuluan dalam suatu penelitian fitokimia yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang golongan senyawa yang terkandung dalam tanaman yang sedang diteliti. Metode skrining fitokimia dilakukan dengan melihat reaksi pengujian warna dengan menggunakan suatu pereaksi warna. Hal penting yang berperan penting dalam skrining fitokimia adalah pemilihan pelarut dan metode ekstraksi (Kristianti dkk., 2008). Skrining fitokimia serbuk simplisia dan sampel dalam bentuk basah meliputi pemeriksaan kandungan senyawa alkaloida, flavonoida, terpenoida/ steroida, tanin dan saponin menurut prosedur yang telah dilakukan oleh Harbone (Harbone, 1987) dan Depkes (Depkes, 1995).
Kegiatan skrining fitokimia dan uji kandungan total flavanoid dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan, Laboratorium Fisiologi Hewan, Laboratorium Pendidikan, dan Laboratorium Genetika, Jurusan Biologi serta Laboratorium Kimia Organik di Fakultas Sains dan Teknologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Alat yang digunakan untuk pengambilan sampel buah C. pubescens adalah kamera, kantong plastik, pita meter, pisau, kertas label, dan alat tulis. Untuk skrining fitokimia dan uji total kandungan flavonoid, alat yang digunakan antara lain: penumbuk, oven, pipet tetes, pipet mikro, neraca elektrik, tabung reaksi, rak tabung reaksi, pengaduk kaca, spatula, cawan porselen, kertas saring, corong kaca, toples maserasi, gelas ukur, hotplate, rotary vacuum evaporator, kuvet, dan spektrofotemeter. Bahan utama berupa sampel buah C. pubescens Lenne & K. Koch. Bahan untuk uji kandungan total flavonoid meliputi methanol 80%, nitrogen, HCl pekat, bubuk Mg, kuersetin, NaNO2, AlCl3, NaOH, aquades, FeCl3, pereaksi Mayer, pereaksi Dragendorf, asam asetat anhidrat, asam sulfat, kloroform, blue tip, dan masker.


Uji flavanoid pada penelitian ini dilakukan dengan dua metode sebagai berikut.
a) Uji Wilstatter Isolat ditambahakan 2-4 tetes HCl pekat dan 2-3 potong kecil logam Mg. Perubahan warna terjadi diamati dari kuning tua menjadi orange (Achmad, 1986).
b) Uji Bate-Smith Isolat ditambahkan HCl pekat lalu dipanaskan dengan waktu 15 menit di atas penangas air. Reaksi positif jika memberikan warna merah (Achmad, 1986).
Hasil skrining fitokimia menunjukkan bahwa buah C. pubescens memiliki kandungan senyawa flavonoid. Dalam penelitian ini dilakukan dua uji untuk mengidentifikasi senyawa flavanoid, yaitu uji Wilstatter dan uji Bate-Smite. Reaksi positif pada uji Wilstatter ditunjukkan dengan adanya warna jingga sedangkan reaksi positif pada uji Bate-Smite ditunjukkan dengan adanya warna merah. Warna merah pada uji flavonoid dikarenakan terbentuknya garam flavilium (Achmad, 1986) menurut reaksi berikut.


D.    Isolasi Senyawa Flavanoid
Isolasi flavonoid dapat dilakukan dari tumbuhan segar maupun yang telah kering. Pada tumbuhan yang terserang jamur, ada kecenderungan glikosida diubah menjadi aglikon, aglikon yang peka akan teroksidasi. Flavonoid merupakan metabolit sekunder yang bersifat polar yang ditandai dengan adanya gugus hidroksil atau suatu gula dan terdapatnya pasangan elektron bebas pada atom oksigen. Oleh karena, itu flavonoid dapat diekstrak dari tumbuhan dengan menggunakan pelarut polar seperti metanol. Pengaruh glikosilasi menyebabkan flavonoid lebih mudah larut dalam air. Sebaliknya aglikon flavonoid seperti isoflavon dan flavon cenderung lebih mudah larut dalam pelarut non-polar seperti kloroform dan eter. Pemurnian flavonoid dari senyawa-senyawa lain dari ekstrak kasar dapat dilakukan dengan metode kromatogarafi (Markham, 1988).
solasi flavonoid umumnya dilakukan dengan metode ekstraksi, yakni dengan cara maserasi atau sokletasi menggunakan pelarut yang dapat melarutkan flavonoid. Flavonoid pada umumnya larut dalam pelarut polar, kecuali flavonoid bebas seperti isoflavon, flavon, flavanon,dan flavonol termetoksilasi lebih mudah larut dalam pelarut semipolar. Oleh karena itu pada proses ekstraksinya, untuk tujuanskrining maupun isolasi, umumnya menggunakan pelarut methanol atauetanol. Hal ini disebabkan karena pelarut ini bersifat melarutkan senyawa–senyawa mulai dari yang kurang polar sampai dengan polar. Ekstrak methanol atau etanol yang kental, selanjutnya dipisahkankandungan senyawanya dengan tekhnik fraksinasi, yang biasanyaberdasarkan kenaikan polaritas pelarut (Monache, 1996).
Senyawa flavonoid diisolasi dengan tekhnik maserasi,mempergunakan pelarut methanol teknis. Ekstraksi methanol kental kemudian dilarutkan dalam air. Ekstrak methanol–air kemudian difraksinasi dengan n-heksan dan etil asetat. Masing–masing fraksiyang diperoleh diuapkan, kemudian diuji flavonoid. Untuk mendeteksiadanya flavonoid dalam tiap fraksi, dilakukan dengan melarutkansejumlah kecil ekstrak kental setiap fraksi kedalam etanol.Selanjutnya ditambahkan pereaksi flavonoid seperti : natriumhidroksida, asam sulfat pekat, bubuk magnesium–asam klorida pekat,atau natrium amalgam–asam klorida pekat. Uji positif flavonoidditandai dengan berbagai perubahan warna yang khas setiap jenisflavonoid (Geissman, 1962).
Cara lain yang dapat dipakai untuk pemisahan adalah ekstraksi cair-cair, kromatografi kolom, kromatografi lapis tipis dan kromatografi kertas. Isolasi dan pemurnian dapat dilakukan dengan kromatografi lapis tipis atau kromatografi kertas preparatif dengan pengembangan yang dapat memisahkan komponen paling baik (Harborne, 1987). Flavonoid (terutama glikosida) mudah mengalami degradasi enzimatik ketika dikoleksi dalam bentuk segar. Oleh karena itu disarankan koleksi yang dikeringkan atau dibekukan. Ekstraksi menggunakan solven yang sesuai dengan tipe flavonoid yg dikehendaki. Polaritas menjadi pertimbangan utama. Flavonoid kurang polar (seperti isoflavones, flavanones, flavones termetilasi, dan flavonol) terekstraksi dengan chloroform, dichloromethane, diethyl ether, atau ethyl acetate, sedangkan flavonoid glycosides dan aglikon yang lebih polar terekstraksi dengan alcohols atau campuran alcohol air. Glikosida meningkatkan kelarutan ke air dan alkohol-air. Flavonoid dapat dideteksi dengan berbagai pereaksi, antara lain sitrobat, AlCl3dan NH3.
Sebelum melakukan suatu isolasi senyawa, maka yang dilakukan adalah ekstraksi terlebih dahulu. Ekstraksi artinya mengambil atau menarik suatu senyawa yang terdapat dalam suatu bahan dengan pelarut yang sesuai. Proses yang terjadi dalam ekstraksi adalah terlarutnya senyawa yang dapat larut dari sel melalui difusi, tergantung dari letak senyawa dalam sel dan juga permeabilitas dinding sel dari bahan yang akan di ekstraksi.
Ekstraksi adalah suatu proses atau metode pemisahan dua atau lebih komponendengan menambahkan suatu pelarut yang hanya dapat melarutkan salahsatu komponennya saja. Dalam prosedur ekstraksi, larutan berair biasanya dikocok dengan pelarutorganik yang tak dapat larut dalam sebuah corong pemisah. Zat – zatyang dapt larut akan terdistribusi diantara lapisan air dan lapisanorganik sesuai dengan (perbedaan) kelarutannya. Padaekstraksi senyawa – senyawa organik dari larutan berair, selain airatau eter, biasanya digunakan pula etil asetat, benzena, kloroform dan sebagainya. Ekstraksi lebih efisien bila dilakukan berulang kali dengan jumlah pelarut yanglebih kecil dari pada bila jumlah pelarutnya banyak tapi ekstraknyahanya sekali (Markham, 1988).
 Metode ekstraksi terdiri atas dua jenis yakni ekstraksi panas dan ekstraksi dingin. Ekstraksi panas menggunakan cara refluks dan destilasi uap sedangkan ekstraksi secara dingin menggunakan cara maserasi,perkolasi dan soxhletasi.
Flavonoid terutama berupa senyawa yang larut dalam air. Mereka dapat diekstraksi dengan etanol 70 % dan tetap ada dalam lapisan air setelah ekstrak ini dikocok dengan eter minyak bumi. Flavonoid berupa senyawa fenol, karena itu warnanya berubah bila ditambah basa atau amonia, jadi mereka mudah dideteksipada kromatogram atau dalam larutan (Harborne, 1987 : 70).

E.     Bioaktivitas Flavanoid
Berbagai jenis senyawa, kandungan dan aktivitas antioksidatif flavonoid sebagai salah satu kelompok antioksi dan alami yang terdapat pada sereal, sayur sayuran dan buah, telah banyak dipublikasikan. Flavonoid berperan sebagai antioksidan dengan cara mendonasikan atom hidrogennya atau melalui kemampuannya mengkelat logam, berada dalam bentuk glukosida (mengandung rantai samping glukosa) atau dalam bentuk bebas yang disebut aglikon (Cuppett et al.,1954).
Kerangka C6 – C3 – C6 Flavonoid Pada sorgum yang diekstraksi dengan metanol, didapatkan tiga jenis anthocyanogen flavonoid, satu jenis merupakan flavonone (kemungkinan eriodictyol) dan sisanya adalah anthocyanidin (pelargonidin) (Yumatsu et al., 1965). Narasimhan et al. (1988, 1989) melaporkan bahwa telah ditemukan komponen aktif dari ekstrak kulit gabah dua kultivar padi, Katakura (Oryza sativa Linn, var. Indica; berumur panjang) dan Kusabue (Oryza sativa Linn, var. Japonica; berumur pendek), berupa substansi flavonoid dan salah satunya diidentifikasi sebagai isovitexin, yaitu senyawa C-glycosil flavonoid yang memiliki -tokoferol. Kemudian oleh Osawa et al.aaktivitas antioksidan sebanding dengan  (1992) telah diisolasi suatu senyawa flavonoid baru dari daun green barley muda (Hordeum vulgare L. var. nudum Hook) yang diidentifikasi sebagai 2’’-OGlycosylisovitexin (2’’-O-GIV). Berdasarkan pengujian dengan sistem peroksidasi M senyawa 2’’-O-GIV pada pH 7,4 dalam kondisi irradiasi UV,mlipid, 100  mampu menekan pembentukan 40% malonaldehyde (tidak berbeda nyata dengan -tokoferol pada konsentrasi yang sama) (Kitta et al., 1992). Sedangkan vitexina dan isovitexin yang diisolasi dari ekstrak kulit gabah buckwheat (Fagopyrum esculentum Moench) tidak menunjukkan aktivitasnya sebagai peroxy radical scavenger (Watanabe et al., 1997). Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa kadar flavonoid terikat pada jagung, gandum, oat dan padi relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kadar flavonoid dalam bentuk bebasnya (Adom dan Rui Hai Liu, 2002) (Gambar 2). Bentuk flavonoid terikat memiliki koefisien korelasi yang nyata terhadap aktivitas antioksidan total (r2 = 0,925).



Fakta menunjukkan bahwa hampir semua komponen nutrisi yang diidentifikasi berperan sebagai agen protektif terhadap penyakit-penyakit tertentu dalam survei/penelitian mengenai diet, sejauh ini mempunyai beberapa sifat antioksidatif (Deshpande et al., 1985). Pada uraian sebelumnya, telah dipaparkan bahwa beberapa senyawa flavonoid seperti quercetin, kaempferol, myricetin, apigenin, luteolin, vitexin dan isovitexin terdapat pada sereal, sayuran, buah dan produk olahannya dengan kandungan yang bervariasi serta sebagian besar memiliki sifat sebagai antioksidan. Hal ini telah memperkuat dugaan bahwa flavonoid memiliki efek biologis tertentu berkaitan dengan sifat antioksidatifnya tersebut.


Permasalahan :
1.      Bagaimana cara kerja flavonoid dalam menghambat sel kanker?
2.  Kan diatas telah dikatakan bahwa falvonoid itu menghasilkan warna yang berbeda, itu menandakan bahwa flavonoid memiliki stabilitas yang rendah. Jadi yang ingin saya tanyakan yaitu apa saja yang mempengaruhi stabilitas pada flavonoid tersebut!  

Comments

  1. Saya ingin menanggapi permasalahan saudari nomor dua, dimana secara fisis, flavonoid bersifat stabil. Namun, secara kimiawi ada 2 jenis flavonoid yang kurang stabil, yaitu:
    1. Flavonoid O-glikosida; dimana glikon dan aglikon dihubungkan oleh ikatan eter (R-O-R). Flavonoid jenis ini mudah terhidrolisis.

    2. Flavonoid C-glikosida; dimana glikon dan aglikon dihubungkan oleh ikatan C-C. Flavonoid jenis ini sukar terhidrolisis, tapi mudah berubah menjadi isomernya. Misalnya viteksin, dimana gulanya mudah berpindah ke posisi 8. Perlu diketahui, kebanyakan gula terikat pada posisi 5 dan 8, jarang terikat pada cincin B atau C karena kedua cincin tersebut berasal dari jalur sintesis tersendiri, yaitu jalur sinamat.

    ReplyDelete
  2. saya ingin menjawab permasalahan no 1 .Tumor dan kanker merupakan sekumpulan sel-sel abnormal yang tumbuh dari hasil pembelahan sel yang tidak terkendali. Ada beberapa jenis pengobatan tumor yang sering dipraktikan oleh sebagian besar ahli medis.

    Ada beberapa mekanisme kerja dari flavonoid dalam melawan tumor dan kanker, diantaranya:

    1. Inaktivasi karsinogen
    ˜ Menonaktifkan zat aktif yang menjadi penyebab kanker.
    2. Antiproliferasi
    ˜ Menghambat proses perbanyakan sel abnormal padakanker.
    3. Penghambatan siklus sel
    ˜ Pada kanker, terjadi kegagalan pengendalian dalam siklus pembelahan sel. Dimana sel mengalami pembelahan secara cepat dan terus menerus. Flavonoid bekerja dengan menghambat siklus pembelahan sel yang abnormal (kanker) tersebut.
    4. Induksi apoptosis dan diferensiasi
    ˜ Merangsang proses bunuh diri sel kanker.
    5. Inhibisi angiogenesis
    ˜ Menghambat pembentukan pembuluh darah baru pada sel kanker yang berperan dalam menyediakan makanan/nutrisi bagi perkembangan sel kanker. Jika sel kanker tidak mendapatkan nutrisi yang cukup, sel kanker akan mati.
    6. Pembalikan resistensi multi-obat
    ˜ Flavonoid membantu tubuh terhindar dari resistensi/kebal terhadap obat-obat yang dikonsumsi.

    ReplyDelete
  3. Menjawab pertanyaan pertama, bagaimana mekanisme penghambat sel kanker oleh flavonoid, Isochamaesjasmin (Gol. Biflavonoid) dengan mencegah proses inisiasi dan promosi. Mekanismenya yaitu menghambat kerja enzim DNA topoisomerase IB (topo I) dan topoisomerase II (topo II) pada sel kanker. Enzim tersebut adalah enzim yang berperan dalam proses replikasi transkripsi dan rekombinasi DNA dan juga proses proliferasi dan diferensiasi sel kanker. Dengan dihambatnya enzim DNA topoisomerase maka proses dalam sel akan terhenti dan akhirnya akan terjadi kematian sel tersebut.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Akan saya tambahkan kembali
      Senyawa isoflavon yang berpotensi sebagai antitumor/antikanker adalah genistein yang merupakan isoflavon aglikon (bebas). Genistein merupakan salah satu komponen yang banyak terdapat pada kedelai dan tempe. Penghambatan sel kanker oleh genistein, melalui mekanisme sebagai berikut :
      a. penghambatan pembelahan/proliferasi sel (baik sel normal, sel yang terinduksi oleh faktor pertumbuhan sitokinin, maupun sel kanker payudara yang terinduksi dengan nonil-fenol atau bi-fenol A) yang diakibatkan oleh penghambatan pembentukan membran sel, khususnya penghambatan pembentukan protein yang mengandung tirosin;
      b. penghambatan aktivitas enzim DNA isomerase II;
      c. penghambatan regulasi siklus sel;
      d. sifat antioksidan dan anti-angiogenik yang disebabkan oleh sifat reaktif terhadap senyawa radikal bebas;
      e. sifat mutagenik pada gen endoglin (gen transforman faktor pertumbuhan betha atau TGFβ). Mekanisme tersebut dapat berlangsung apabila konsentrasi genestein lebih besar dari 5μM.

      Delete
  4. Saya menambahkan jawaban dari nuri dan agung

    Beberapa jenis sel kanker juga dapat tumbuh dengan cepat bila dipicu oleh hormon estrogen manusia, seperti sel kanker pada payudara. Dalam hal ini isoflavon yang merupakan fitoestrogen dalam kedelai ternyata kompetitif dengan estrogen manusia. selain buah naga merah,,kedelai yang terkandung dalam kanker juga dapat di yakini mampu menghambat pertumbuhan sel kanker.Sehingga konsumsi isoflavon kedelai akan membantu menghambat pertumbuhan kanker yang dipicu oleh estrogen manusia tersebut.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Fenil Propanoid

alkaloid